Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Woman before the Rising Sun by Caspar David Friedrich (1818)


Sebagai seseorang yang hatinya telah lama ditinggal melati dan sudah terlalu banyak kehilangan sehingga tidak punya apa-apa lagi, saya selalu berhenti berharap dan menerima segala hal yang terjadi pada hidup saya. Kala pagi hari, ketika matahari mulai menunjukkan cerahnya, saya cenderung merasa kosong dan sering kali berucap “ketidakberuntungan apa lagi yang akan menyambarku kali ini.” Sementara, saat malam hari sebelum memejamkan mata untuk menuju dunia mimpi yang konon begitu indah dirasakan, saya berkata dalam kalbu “saya biasa bersabar dan semakin hari makin demikian.”

Memasuki umur yang tidak lagi bisa dibilang belia, saya merasa pemahaman saya tentang hidup semakin bertambah. Bila ada seorang teman yang berbicara kalau hidup ini adalah sesuatu yang indah, saya hanya akan meresponnya dengan senyum simpul yang menyiratkan kecurigaan atau mungkin cukup dengan membuang ludah ke tanah tanpa kata-kata. Karena, bukankah orang yang sedang mabuk sulit untuk diajak berbicara?

Selama kurang lebih 8.030 hari hidup, saya semakin mengerti kalau nyatanya hidup ini merupakan sebuah kegagalan. Entah mengapa dan bagaimana, segala yang saya rasakan dan lihat hanyalah kekalahan yang berujung kesedihan dan duka mendalam. Saya tidak pernah habis pikir tentang perkara orang-orang yang setiap kali harus bersaing dan saling mengalahkan satu sama lain untuk sesuap nasi. Itu seperti saya kembali ke era kuno di mana dua orang saling bertarung sampai mati dalam sebuah arena hanya untuk menghibur raja-raja korup.

Bagi saya pribadi, hari-hari yang dijalani hanyalah penderitaan belaka. Sayangnya, penderitaan tersebut harus dijalani selama rata-rata 21.000 hingga 25.000 hari. Bayangkan bila setidaknya ada 10.000 hari yang harus saya awali oleh sebuah kemurungan, yang saya jalani bersama kesesakan, dan yang saya akhiri dengan sebuah tangisan.

Membahas mengenai waktu, saya selalu kagum dengan kejeniusan mereka yang mulai menetapkan satuan hari, jam, menit, dan detik. Waktu, bagaimanapun, adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan. Dari waktu, manusia bisa memperhitungkan kapan mesti bekerja, beristirahat, atau sekedar bersenang-senang. Dari waktu pula lah, manusia mampu mengetahui berapa lama ia telah dilahirkan ke dunia yang berisi serigala tamak yang oleh orang banyak biasa disebut raja, presiden, pemimpin, bos atau sejenisnya

.Senin pagi, yang merupakan waktu di mana orang biasa memulai beragam aktivitas dari setiap pekan, adalah hal yang sakral. Mengenai Senin pagi, saya selalu percaya jika saja waktu tersebut dijalani dengan setengah hati, maka enam hari berikutnya pun akan memberikan hatinya secara setengah-setengah pula. Saya pernah merasakan itu dan tentu itu membekas dalam ingatan saya.

Namun, saya pernah mengalami waktu di mana Senin pagi bahkan tidak sudi berpihak kepada saya sedikit pun. Tidak seperti biasanya, saat itu saya bangun lebih awal. Betapa tidak kuasanya saya menahan perasaan muram ketika mendapat kabar yang begitu menyakitkan hati di kala terbangun. Adapun mentari di Senin pagi itu tertutup oleh gumpalan awan tebal. mendung dan abu-abu, seperti suasana yang begitu mencekam jiwa. Barangkali di hari tersebut, bukan hanya saya yang terbeku seperti patung lantaran tidak tahu harus berbuat apa; jika menangis harus kepada siapa? dan bila berlari harus ke mana?

 Saya jadi teringat beberapa sosok yang harus saya lihat ketika membeli sarapan untuk sekadar melupakan kabar yang begitu mengguncang hati di Senin pagi kala itu. Ada banyak yang saya lihat, akan tetapi pikiran saya terus tertuju kepada mereka. Pertama, adalah seorang ibu renta penjual makanan yang menenteng bakul dagangan sembari menggendong anaknya. Kedua, adalah sepasang suami istri yang berjibaku membawa sebuah speaker berikut microphone-nya untuk bernyanyi guna sekedar memeriahkan suasana pasar yang pada dasarnya sudah riuh oleh perbincangan niaga di sana-sini. Ketiga, ialah seorang wanita berusia belia yang sedang menunggu pembeli untuk menawar ikan-ikan hias yang sedang ia jajakan. Keempat sekaligus terakhir, merupakan sesosok yang tidak dapat saya kenali lantaran ia mengenakan kostum karakter Doraemon yang tampak berseri. Namun, saya yakin di balik kostumnya yang ceria, tersimpan raut-raut suram dan muram.

Meski hanya melihatnya secara sekilas tanpa kejelian apapun, saya tetap dapat dengan mudah merasakan betapa buruknya kondisi yang sedang mereka alami. Rupa wajah mereka, alih-alih memantulkan seberkas cahaya cemerlang, tertekuk rapat penuh makna kesukaran dan pilu. Seolah, mereka berharap bahwa tiada lagi hari seperti Senin pagi. Sayangnya, bagaimanapun, saya yakin bila di satu sisi mereka juga sadar bahwa hari-hari yang akan dilalui nantinya akan tetap sama seperti suasana Senin pagi saat itu: gelap tanpa harapan, sulit untuk dijalankan.

Ihwal mereka, sosok yang tampaknya telah terbiasa tersayat batinnya, saya menjadi bertanya-tanya soal dunia. Apakah pada dasarnya dunia memang tidak pernah adil? Kira-kira dari manakah secercah keadilan bernama kebahagiaan dapat tumbuh abadi dalam sanubari seseorang? Saya begitu heran memikiran pertanyaan-pertanyaan demikian. Terlepas dari apa pun, Tuhan, entitas transenden yang diakui sebagai penanggung jawab dari segala kejadian di dunia, memiliki rencana di balik semuanya. Entah apakah itu rencana yang bagus ataupun buruk.

Bogor, yang merupakan tempat saya tumbuh sejak kecil bersama keluarga yang begitu perhatian, sering kali disebut sebagai kota hujan. Semakin hari, saya justru curiga kalau hujan yang acap menyambangi tanah Bogor bukanlah air hasil dari proses evaporasi, kondensasi, dan presipitasi, melainkan air mata dari orang-orang yang tidak lagi mampu menangis karena sudah amat sering tertimpa kesialan dan kesedihan.

Sejak pengalaman Senin pagi tersebut, saya telah berjanji pada diri sendiri untuk melalui hari tanpa ambisi ataupun negasi. Sama seperti Bakunin yang dalam sebuah pamfletnya menulis “Namun, lebih baik tak ada cahaya ketimbang cahaya palsu dan remang-remang, yang dinyalakan hanya untuk menyesatkan orang-orang yang mengikutinya. Setelah semua itu, orang-orang tidak akan kekurangan cahaya.” Saya juga memutuskan untuk menjalani hari-hari seolah suasana Senin pagi akan berlangsung sampai hari ke-25.000 saya. Bagaimanapun, saya pada akhirnya memahami bila mentari, entah kapan, mungkin tidak akan bersinar lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan