Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

“Aku tidak ingin lagi menyimpan kenangan bersama seseorang, meski itu seujung kuku.”

Begitulah jawabku singkat kala ditanya alasan mengapa aku kerap menghapus pesan dan riwayat panggilan di aplikasi WhatsApp

Persoalannya adalah, mengapa aku seakan membenci kenangan?

Ya. Kenangan bagiku hanyalah sebuah kebahagian semu yang keberadaannya harus kamu hindari dan buang ke tempat sampah. Kenangan adalah istilah lain dari term kesakitan, kesesakan, dan kesengsaraan. 

Aku paham betul apabila aktivitas membangun kenangan (bersama seseorang tentunya) adalah situasi yang begitu membahagiakan. Aku mengerti ada semacam perasaan optimistis dan menggebu-gebu yang membakar gairah jiwamu. Rasanya, ribuan bunga bermekaran di dalam hati kala kamu membangun istana memori dalam bentuk momen-momen bersama seseorang. Tidak perlu diragukan lagi, aku mengetahui semua hal tersebut dengan baik.

Namun, konsekuensi logis dari aktivitas semacam itu  hanya satu: hatimu akan remuk, entah kapan. Pasalnya, kamu bermain dengan subjek aktif yang eksistensinya di dunia ini tidak akan bisa kamu prediksi.

Kamu tidak perlu repot-repot untuk melakukan serangkaian asumsi kesenangan atau membuat harapan bersama orang lain, karena pada akhirnya kamu sama saja seperti berekspektasi bahwa hidup kamu perlahan akan menemui kesejahteraan di bawah tangan penguasa politik: mustahil.

Sekali lagi, kebahagiaan yang timbul itu adalah kebahagiaan artifisial; hanya dibuat sesaat dan cuma untuk hari ini. Sisanya, kamu hanya akan menemui kesedihan dan aktivitas sehari-harimu akan diisi oleh menangis, menangis, dan menangis belaka.

“Namun, bukankah hidup ini adalah aktivitas bertemu dan mengisi waktu bersama dengan orang-orang? Bagaimana mungkin kita bisa melakukan apa sedang kamu ocehkan dalam tulisanmu yang buruk ini?”, mungkinkah kamu bertanya demikian?

Ya, memang benar itu adalah fakta yang tidak bisa kita ganggu gugat sebagai makhluk yang secara kodrati perlu bentuk-bentuk hubungan sosial tertentu. Meski demikian adanya, toh aku menyarankan kepadamu untuk tidak pernah berharap pada seseorang. Jangan pernah berharap pada aku, keluargamu, kekasihmu, atau saudara serta kerabatmu.

Harapan hadir di tengah-tengah proses membangun kenangan dan kamu harus menahan agar itu tidak memenuhi isi kepalamu. Kamu harus bisa mengontrolnya entah bagaimana keadaannya. Aku rasa, hidupmu akan tenang begitu kamu bisa melepaskan hasrat untuk berharap.

Aku berusaha untuk memperingatkanmu. Bukan karena aku iri melihat kamu berkeliaran bersama orang lain dengan begitu gembiranya, melainkan untuk kebaikanmu sendiri. Aku tidak peduli kamu setuju dengan pendapatku atau tidak, hanya saja pikirkan sekali lagi untuk mempertimbangkannya.

Apabila kamu benar-benar tidak setuju, aku pun masih tidak peduli. Aku hanya akan tidur tanpa bunga-bunga mimpi dan dengan selimut kehampaan yang menghangatkanku di tengah-tengah keadaan pesimistis; singkatnya, persetan dengan hari esok. Aku tidak merasakan dan berharap tentang apa-apa lagi.

Sekarang, mari ucapkan selamat tinggal kepada kenangan dan harapan. Semoga kelak kita
bisa bertemu lagi di neraka!

Komentar

  1. True, berharap ke manusia nyatanya sama dengan bunuh diri👍🏼

    BalasHapus
  2. Bener ya ternyata, ga menyimpan kenangan apapaun sama seseorang buat kita cepat lupa, meskipun kadang ngerasa sayang kalau semua kenangannya dibuang. Makasi untuk tulisan bagusnya✨

    BalasHapus
  3. Tapi, pada akhirnya seberapa keras kita mencoba untuk menghapus semua kenangan itu, jiwa kita tetap akan mengingat nya, jiwa kita akam terus mengingat memori indah yang pernah dialaminya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan