Memoar Utopia tentang Kebahagiaan

Aku ingin membuka tulisan ini dengan mengutip satu kalimat dari catatan Thoreau ketika ia memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar kehidupan kota dengan menetap di kawasan hutan sendirian: “Namun, haruskah kita senantiasa berusaha mendapatkan lebih, dan bukannya mencukupkan diri dengan yang sedikit?”.

Catatan pengalaman Thoureau tersebut berjudul Walden. Karya ini kebetulan telah menarik diriku untuk mengangkat tema seputar krisis pada kehidupan masyarakat modern dalam tugas akhir kuliah guna meraih gelar sarjana. Entah jalan terjal seperti apa yang akan dilalui kala menyusun tugas seperti itu, yang jelas aku benar-benar tidak peduli.

Kalimat yang telah dikutip tadi, bagiku, mengandung beragam sindiran menyoal bagaimana kehidupan sosial kita, kini, terkonfigurasi.

Aku melihat situasi di kanan dan di kiriku. Semuanya sama: orang-orang berlomba meraih predikat sebagai yang terbaik dalam hal mengonsumsi dan membeli; juga berjuang mati-matian demi mendapat banyak lembaran kertas yang entah bagaimana memiliki tingkatan masing-masing: ada kertas yang jika diinjak, bakar, atau robek tidak akan membuat orang-orang menoleh seraya mengatakan “Sayang sekali. Kenapa kamu tidak memberikannya saja kepadaku?”; dan ada juga kertas yang apabila diperlakukan seperti itu, akan membuat banyak orang berkata seperti demikian.

Situasi tersebut, aku kira, pada dasarnya adalah realitas paripurna dari kehidupan kita. Kala membuat tulisan ini, aku pun terjerembak pada kondisi yang kontradiktif: Aku ingin sekali mengkritik, mencerca, dan menghina realitas itu. Namun, keluargaku, kerabatku, dan bahkan diriku sendiri juga telah terkungkung di dalam sangkarnya.

Keadaan terkurung pada sangkar di mana tidak ada satu pun orang yang mengetahui jelas bagaimana menghancurkannya telah memberikanku satu wawasan penting, meski di satu sisi terkadang juga lebih banyak menyodorokan sejumlah kepelikan dan kesesakan yang menggerogoti dimensi eksistensial dari diriku–bahkan kamu.

Lantas, wawasan seperti apa itu?

Kebahagiaan. Orang-orang sering kali menyebutnya dengan kenikmatan, kesenangan, kepuasan, dan segala term lainnya yang mampu merepresentasikan kondisi di mana hasrat-hasrat pada diri kita telah terpenuhi.

Sependek yang aku pahami, ada dua pandangan untuk mengidentifikasi kebahagiaan. Yang pertama berkaitan dengan dimensi prinsip utilitarian di mana kebahagiaan bisa saja diraih kala kita mendapat kesenangan (hedonia) yang tentu sifatnya duniawi dan materiil. Yang kedua berkaitan dengan dimensi etis (bahkan teologis) di mana tolok ukur kebahagiaan ditentukan oleh sifat baik-buruk dalam kehidupan yang kita jalani.

Membaca situasi sekarang dan dengan melepaskan diri pada kenaifan, sesungguhnya, jenis kebahagiaan seperti apa yang acap kali kita kejar? Aku sendiri pun ragu untuk menjawabnya. Namun, mengingat partisipasiku yang juga terkurung dalam sangkar realitas dan tanpa bermaksud memberikan suatu perspektif final, aku curiga bila kebahagiaan yang kita kejar sekarang cenderung pada jenis kebahagiaan yang sifatnya materiil.

Kita tidak pernah berhenti untuk membeli dan mengonsumsi. Kita tidak pernah berhenti untuk menggulirkan layar gadget yang dipenuhi dengan iklan. Obrolan kita seputar produk terbaru dari beragam brand atau merk terkenal sulit sekali habis. Selalu ada alasan yang kita keluarkan untuk membeli dan kerap terdapat argumentasi sanggahan untuk menahan diri dari aktivitas mengonsumsi.

Dalam bahasa marxian (atau mungkin marxis, aku lupa), kondisi tersebut dikenal dengan istilah fetisime komoditas. Konsekuensi dari kondisi ini ialah kita tidak akan pernah berhenti membeli. Dan lantaran selalu ada dimensi kebahagiaan yang dicapai dalam aktivitas mengonsumsi, maka mungkinkah menyebut kalau kebahagiaan masa kini yang kita kejar ialah kebahagiaan semu?

Kebahagiaan materiil, bukan hanya mencakup pada aktivitas membeli barang. Namun, juga saat kita menaruh ukuran perasaan bahagia pada orang lain di luar diri kita. Sering kali kita bisa melihat orang-orang berkorban begitu banyak demi membahagiakan orang lain. Situasi seperti ini acap terjadi pada relasi sosial yang sifatnya romantis dan penuh kasih sayang atau berlandaskan atas cinta.

Dalam relasi tersebut, bukankah seseorang terlalu sibuk memikirkan yang lain sehingga dirinya sendiri terabaikan? Meski begitu, dengan mudahnya ungkapan seperti “kebahagiaan ia juga adalah kebahagiaanku” dikeluarkan sebagai sebuah bentuk apologi dari sebuah hal yang secara berani aku sebut sebagai hipokrisi.

Pada tulisan sebelumnya berjudul Aku, Aku, Aku, dan Tulisan yang Sebuah Pesimistis, aku menggemakan seruan untuk menepis segala corak kebahagiaan yang didasarkan pada orang lain. Menaruh ukuran kebahagiaan pada subjek di luar diri, berarti sama seperti memposisikan tubuh kita pada sebuah kaca yang berisi seekor ular yang sedang berhibernasi: entah kapan dan bagaimana, cepat atau lambat, diri kita akan juga dimangsa.

Sebagai bahan refleksi, marilah bertanya kepada diri kita sendiri: berapa kali kita dibuat menangis oleh seseorang? Dan sudah berapa malam diri kita tidak bisa tertidur lelap lantaran harus memikirkan individu yang belum tentu juga memikirkan kita? Buanglah segala ekspetasi dan harapan yang menyambangi isi hati dan kepalamu. Terutama yang berkaitan dengan seseorang yang lain.

Aku selalu menghargai kebahagiaan yang dimiliki oleh orang lain, apapun situasinya. Namun, yang mesti kita akui dan pahami bahwa mengejar kebahagiaan di dunia ini merupakan sebuah utopia lantaran itu mesti kita jalani selamanya.

Upaya meraih kebahagiaan adalah jenis absurditas yang mutlak. Dalam prosesnya, kita sama seperti menjalankan tugas Sisyphus: mendorong sebongkah batu ke puncak bukit yang pada akhirnya akan terjatuh dan kita mesti mendorongnya lagi.

Namun, bukankah itu kenyataan yang memang mesti kita hadapi? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan