Postingan

Mangiarotti

Conversation at the Cafe by Giovani Boldini (1879) Diterjemahkan dari Mangiarotti karya Jake Allsop (1989) Paris, Juli, 1960, seperti yang diucapkan reporter TV. Aku berumur 20 tahun, dan hampir mati kelaparan. Aku belum makan apa pun selama dua hari, kecuali setengah sandwich keju yang aku temukan di antara lapisan mantelku: Aku ingat telah memakan setengahnya pada akhir bulan Mei di tahun yang sama. Itu membutuhkan waktu seminggu bagiku untuk menumpang ke Paris dari Italia, dan uangku telah habis. Sebelum meninggalkan Milan, temanku, Silvano, telah menceritakan bila ia mengetahui seorang pria di Paris yang mungkin dapat memberikanku sebuah pekerjaan. Pria itu bernama Mangiarotti—ia tampaknya tidak memiliki nama depan—dan ia adalah seorang pelukis. Mangiarotti bekerja pada suatu tempat di arondisemen ke-14, area Porte de Vanves, Paris. Kini, perkataan bila kamu adalah seorang pelukis di Paris terdengar cukup romantis, maka aku mungkin harus menambahkan bahwasanya dia bukanlah seorang

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Gambar
Woman before the Rising Sun by Caspar David Friedrich (1818) Sebagai seseorang yang hatinya telah lama ditinggal melati dan sudah terlalu banyak kehilangan sehingga tidak punya apa-apa lagi, saya selalu berhenti berharap dan menerima segala hal yang terjadi pada hidup saya. Kala pagi hari, ketika matahari mulai menunjukkan cerahnya, saya cenderung merasa kosong dan sering kali berucap “ketidakberuntungan apa lagi yang akan menyambarku kali ini.” Sementara, saat malam hari sebelum memejamkan mata untuk menuju dunia mimpi yang konon begitu indah dirasakan, saya berkata dalam kalbu “saya biasa bersabar dan semakin hari makin demikian.” Memasuki umur yang tidak lagi bisa dibilang belia, saya merasa pemahaman saya tentang hidup semakin bertambah. Bila ada seorang teman yang berbicara kalau hidup ini adalah sesuatu yang indah, saya hanya akan meresponnya dengan senyum simpul yang menyiratkan kecurigaan atau mungkin cukup dengan membuang ludah ke tanah tanpa kata-kata. Karena, bukankah orang

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan

Gambar
The March of the Weavers by Käthe Kollwitz (1897) “ I will follow the trail to tomorrow With my loneliness with sorrow all through the night” -    Blink-182 - Boxing Day Memasuki bulan September, pertanda jika tahun akan memasuki masa senjanya. Kadang kala, aku berpikir mengenai masa sembilan hingga dua belas bulan terakhir yang telah aku lewati. Sama seperti kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa tulisan lampauku, masa-masa tersebut sangat gelap. Sebegitu gelap dan murung sehingga, jika boleh, layaknya film Eternal Sunshine of the Spotless Mind , aku hanya ingin menghapus semua ingatan mengenai apa yang pernah kualami pada waktu itu. Namun, aku selalu berpikir jika fase kehidupan yang disokong waktu, merupakan sebuah siklus: akan berulang terus-menerus. Sama seperti hikayat peradaban-peradaban kuno yang diceritakan oleh orang tua; dan sama seperti sinar mentari yang menerangi hari sebelum pada akhirnya terbenam menuju gelapnya malam. Nyatanya kehidupan merupakan kisah di mana ba

Arah Baru Arah Karsa

Gambar
  (Soir Bleu oleh Edward Hopper, 1914) ADA semacam perasaan menggebu-gebu nan aneh yang datang tanpa alasan dan menghantui isi kepala. Itu seperti terus berbisik kepadaku agar kembali menyusun tulisan remeh-temeh mengenai Arah Karsa. Rasanya, seperti beberapa persoalan belum selesai sehingga aku harus meluapkannya melalui dua atau tiga judul tulisan segera. SEBENARNYA, ketika merangkai kata secara perlahan pada tulisan ini, aku harus menyelesaikan beberapa tugas akademik yang telah memasuki masa tenggat. Namun, dengan begitu bodohnya, di malam yang sunyi dan penuh kegamangan, aku tetap mengetik sampai tidak sadar bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul tiga. HARI berlalu, sementara tulisan ini belum saja selesai. Aku terjebak pada lingkaran yang seakan membuatku bingung mengenai bagaimana cara menyusun paragraf pembuka. Kalimat seperti apa yang mesti aku hadirkan sebagai ungkapan ekspresi dari hati yang sudah lama ditinggal melati? YANG bisa aku lakukan hanya menatap layar laptop

Memoar Utopia tentang Kebahagiaan

Gambar
Aku ingin membuka tulisan ini dengan mengutip satu kalimat dari catatan Thoreau ketika ia memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar kehidupan kota dengan menetap di kawasan hutan sendirian: “Namun, haruskah kita senantiasa berusaha mendapatkan lebih, dan bukannya mencukupkan diri dengan yang sedikit?”. Catatan pengalaman Thoureau tersebut berjudul Walden . Karya ini kebetulan telah menarik diriku untuk mengangkat tema seputar krisis pada kehidupan masyarakat modern dalam tugas akhir kuliah guna meraih gelar sarjana. Entah jalan terjal seperti apa yang akan dilalui kala menyusun tugas seperti itu, yang jelas aku benar-benar tidak peduli. Kalimat yang telah dikutip tadi, bagiku, mengandung beragam sindiran menyoal bagaimana kehidupan sosial kita, kini, terkonfigurasi. Aku melihat situasi di kanan dan di kiriku. Semuanya sama: orang-orang berlomba meraih predikat sebagai yang terbaik dalam hal mengonsumsi dan membeli; juga berjuang mati-matian demi mendapat banyak lembaran kertas