Mangiarotti

Conversation at the Cafe by Giovani Boldini (1879)



Diterjemahkan dari Mangiarotti karya Jake Allsop (1989)


Paris, Juli, 1960, seperti yang diucapkan reporter TV. Aku berumur 20 tahun, dan hampir mati kelaparan. Aku belum makan apa pun selama dua hari, kecuali setengah sandwich keju yang aku temukan di antara lapisan mantelku: Aku ingat telah memakan setengahnya pada akhir bulan Mei di tahun yang sama. Itu membutuhkan waktu seminggu bagiku untuk menumpang ke Paris dari Italia, dan uangku telah habis. Sebelum meninggalkan Milan, temanku, Silvano, telah menceritakan bila ia mengetahui seorang pria di Paris yang mungkin dapat memberikanku sebuah pekerjaan. Pria itu bernama Mangiarotti—ia tampaknya tidak memiliki nama depan—dan ia adalah seorang pelukis. Mangiarotti bekerja pada suatu tempat di arondisemen ke-14, area Porte de Vanves, Paris. Kini, perkataan bila kamu adalah seorang pelukis di Paris terdengar cukup romantis, maka aku mungkin harus menambahkan bahwasanya dia bukanlah seorang pelukis, melainkan pengecat rumah. Menurut Silvano, Mangiarotti handal dalam mengecat bagian depan toko.

Ngomong-ngomong, setibanya diriku di Paris, aku menghabiskan beberapa sen terakhir untuk perjalanan menuju Plaisance, yang sepertinya berada tepat di tengah-tengah arondisemen ke-14, dan berjalan-jalan mencari siapa saja yang terlihat seperti seorang Italia pengecat rumah. Aku mencarinya dengan seksama, berjalan-jalan sepanjang jalur utama, mengamati pinggir jalan, bertanya pada orang yang lewat, mengamati setiap toko roti, pedagang sayur, dan penjual ikan; namun, sia-sia. Tidak ada tanda keberadaan Mangiarotti.

Pada akhir hari pertama, aku putus asa sehingga menjual arlojiku ke seorang penjual barang bekas—lucu bagaimana Timex mahalku tiba-tiba lebih murah ketimbang harga sebuah omelet dan keripik. Malam itu, aku tidur pada sebuah bangku keras di taman sekitar. Aku terbangun keesokan paginya dengan kaku, dingin, dan lapar seperti biasanya. Akan lebih baik jika aku bangun dan mulai mencari Mangiarotti, pikirku. Mangiarotti? Aku bahkan tidak pernah tahu seperti apa rupanya, oh, Ya Tuhan! Aku membayangkan seorang pria pendek, berambut hitam, dan berkulit coklat—dengan kata lain, tipikal gagasan pria Inggris tentang orang Italia. Namun, bagaimana jika dia tinggi, berambut merah, dan berkulit putih? Aku pernah melihat orang Italia di Alto Adige yang terlihat seperti itu. Ngomong-ngomong soal mencari sebuah jarum di tumpukan jerami! Sama saja, tidak ada yang dapat dilakukan, selain melanjutkan pencarian.

Akhirnya, menjelang sore hari, ketika kakiku pegal dan bahuku terasa ngilu karena beban dari tas, serta perutku mengerang karena lapar, nasibku berubah. Kebetulan aku menatap ke arah pinggir jalan dan melihat, astaga pikirku, seorang pria menaiki sebuah tangga dengan kuas cat di tangan. Seperti pengamatanku, aku melihat bahwa ia bertubuh pendek, berambut hitam, dan berkulit coklat: persis seperti tipikal gagasan orang Inggris tentang orang Italia! lebih-lebih, ia sedang mengecat bagian depan sebuah toko. Aku memanggilnya.

Scusi, signore. Permisi,” ucapku dalam bahasa Italia terbaikku. ‘Apakah Anda Mr. Mangiarotti?”

Dia turun dari tangga dan menatapku dalam diam sambil menyeka cat dari kuasnya menggunakan sebuah lap. Tatapannya membuatku tidak nyaman, karena itu seperti menembus diriku. Dia melanjutkan tatapannya dengan sungguh-sungguh tanpa berbicara. Aku merasa bodoh, jadi aku melanjutkan:

“Aku adalah teman dari Silvano Agosto, dan ia memberitahu bahwa…”

Bibirku seketika terhenti saat dia berbalik untuk meletakkan kuasnya. Kemudian ia menatapku kembali. Aku mengulang pertanyaan sebenarnya: “Apakah Anda  adalah Mr. Mangiarotti?” Ia mengangkat bahu seolah memberi tahu bahwa dirinya tidak peduli tentang jawaban itu.

Tiba-tiba ia berbicara kepadaku dengan bahasa Perancis: “Mari pergi untuk meminum sesuatu.”

Aku mengikutinya ke sebuah kafe terdekat, di mana ia memesan segelas cairan bening yang berubah menjadi susu tatkala ia menambahkan air ke dalamnya. Aku bertanya apakah aku dapat minum white coffee, sambil berpikir bahwa ada susu di dalamnya yang mungkin dapat melakukan sesuatu untuk memuaskan rasa laparku.

“Jadi, kamu adalah teman dari Silvano,” ucapnya menggunakan bahasa Italia tiba-tiba.

aku mengangguk.

“Jadi, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyanya, dengan menggunakan kembali bahasa Prancis. Kenapa ia terus-terusan mengubah penggunaan bahasanya? Apakah dia sedang pamer? Apakah dia sedang mengejekku? Apakah dia hanya sedang mengetesku? Aku merasa bingung dan bimbang, seperti yang dulu kurasakan ketika berhadapan dengan seorang guru menakutkan ketika aku masih sekolah. Aku mulai bergumam menggunakan bahasa Prancis, sebuah bahasa yang tidak aku kuasai dengan baik. Aku menjelaskan, sebaik yang aku bisa, bahwa aku telah bekerja di Milan, tetapi telah memutuskan untuk menghabiskan musim panas di Paris, asalkan dapat menemukan pekerjaan.

“Kenapa kamu berbicara kepadaku dengan bahasa Prancis?” Tanyanya, menyelaku. Lalu, sebelum aku bisa menjawab, ia tertawa terbahak. Ia mendapat sebuah lelucon—apa pun itu—yang sangat lucu. Aku mulai merasa sangat jengkel karena mengira ia sedang menertawakanku. Tawanya berhenti tiba-tiba saat ia mulai berbicara. “Nah sekarang, anak muda,” katanya, berbicara ke arahku menggunakan bahasa Inggris kali ini, “Kamu adalah teman dari Silvano Agosto, kamu sedang mencari Mr. Mangiarotti, dan kamu menginginkan sebuah pekerjaan, hmm?” Sambil menatap raut heran yang tampak di wajahku, ia menambahkan: “Kamu bisa berbahasa Inggris, bukan?”

“Tentu saja bisa.” Jawabku dengan gusar. “Aku adalah orang Inggris.”

“Aku tidak pernah menduganya!” tuturnya, dan sekali lagi tertawa terbahak-bahak. Ada semacam nada ironi pada suaranya.

“Bagaimana Anda bisa mengetahui jika aku orang Inggris?” Tanyaku dengan wajah yang masih tampak jengkel.

“Oh, ayolah, teman. Jangan terlihat kesal. Aku hanya bercanda. Tidak sulit untuk menebak kewarganegaraanmu.”

“Bagaimana?” Aku bertanya. Pada usia 20 tahun, aku kerap memikirkan diriku sebagai seorang warga dunia, dan bukan sebagai produk khas dari negara asalku.

“Jadi, pertama-tama, kamu berbadan tinggi dan berambut pirang. Berapa banyak orang Italia yang tinggi dan pirang? Lalu, kamu memiliki kulit yang pucat, bahkan meskipun kamu telah tinggal di Italia, tempat yang sangat terik. Dan gaya rambutmu—maafkan diriku, aku tidak bermaksud menyinggung—hanya dimiliki oleh orang Inggris.

Rambutku ikal, panjang melewati dahi, dan memiliki belahan di sisi kiri. Apakah ini ciri khas orang Inggris? Mungkin saja dia benar.

“Adapun sepatumu…!” Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Aku menunduk ke arah kakiku. Kupikir tidak ada yang salah dengannya. Namun, di sisi lain, desainnya mungkin agak tradisional.

“Jadi, temanku, ada yang penting dari bahasa Italiamu. Memang benar bila kamu berbicara dengan fasih dan cukup akurat. Namun, aksenmu…!” Hanya orang Inggris yang bisa melafalkan namaku seperti kamu. “Manjer-rottee”. Ugh! Kau membuatnya terdengar seperti nama seekor kuda tua nan gemuk.”

Kendati hal-hal yang ia katakan tentang penampilan dan aksen Italiaku cukup menyinggung, aku tidak bisa berhenti terkesan dengan caranya menebak kewarganegaraanku melalui beberapa tanda. Ini seperti detektif terkenal, Sherlock Holmes, yang bisa mengetahui dari petunjuk remeh—sepuntung rokok misalnya— bahwa pria yang telah merokok itu bertubuh pendek dan merupakan seorang pembuat jam tangan asal Turki bertangan kidal yang menderita flu berat.

Setelah itu, Mangiarotti memberikanku sebuah pekerjaan, dan aku pun menetap di Paris. Sekitar dua minggu selepas aku mulai bekerja untuknya, aku menggunakan beberapa francs untuk menelpon Silvano. Lagipula, berkat Silvano-lah aku bisa mendapat pekerjaan di Paris, dan aku ingin dia mengetahui bila semuanya telah berjalan baik-baik saja.

“Halo, Silvano! Ini aku! Joe. Aku menelpon dari Paris. Aku…”

Sebelum aku bisa mengucapkan kata-kata lain, Silvano menyela dengan sikap antusiasnya dan mengambil alih pembicaraan.

“Hai, Joe! Apa kabar? Semua baik-baik saja? Jadi kamu berada di Paris setelah semuanya, eh? Bagus! Oh, ini mengingatkanku, Joe. Kamu ingat aku memberitahumu tentang seorang Italia yang aku kenal di Paris, pria bernama Mangiarotti. Nah, aku menelponnya pada hari ketika kamu meninggalkan Milan. Aku mendeskripsikanmu secara spesifik ke dia, jika saja dirimu mencoba berkenalan dengannya. Jadi, dia setengah berharap ke dirimu, Joe. Kenapa kamu tidak mencarinya? Atau mungkin kamu sudah menemukannya?”

Oh ya, aku telah menemukannya, Mr Clever Sherlock Holmes Mangiarotti.







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan