DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan

The March of the Weavers by Käthe Kollwitz (1897)


I will follow the trail to tomorrow
With my loneliness with sorrow all through the night”
-  Blink-182 - Boxing Day

Memasuki bulan September, pertanda jika tahun akan memasuki masa senjanya. Kadang kala, aku berpikir mengenai masa sembilan hingga dua belas bulan terakhir yang telah aku lewati. Sama seperti kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa tulisan lampauku, masa-masa tersebut sangat gelap. Sebegitu gelap dan murung sehingga, jika boleh, layaknya film Eternal Sunshine of the Spotless Mind, aku hanya ingin menghapus semua ingatan mengenai apa yang pernah kualami pada waktu itu.

Namun, aku selalu berpikir jika fase kehidupan yang disokong waktu, merupakan sebuah siklus: akan berulang terus-menerus. Sama seperti hikayat peradaban-peradaban kuno yang diceritakan oleh orang tua; dan sama seperti sinar mentari yang menerangi hari sebelum pada akhirnya terbenam menuju gelapnya malam. Nyatanya kehidupan merupakan kisah di mana bahagia dan sedih silih berganti mengisi kekosongan yang ada pada diri kita.

Bahagia dan sedih. Dua frasa itu adalah perasaan yang mampu membuat hidup, mungkin, lebih berwarna. Meski harus diakui jika hidup pada kenyataannya lebih sering dirundung dengan kesedihan, tetapi bukankah akan selalu ada pelangi yang lahir dari muramnya badai? Dan, bukankah pelaut hebat tidak pernah lahir dari ombak yang tenang?

Menyoal kapan badai sedih datang atau cahaya kebahagiaan bersinar, tidak ada yang tahu. Aku berani bertaruh kalau dua perasaan tersebut kadang kala hadir tanpa alasan. Hari ini bisa saja diri kita tersambar petir kebahagiaan yang luar biasa dahsyat. Namun, mengenai esok hari? Lagi-lagi, tidak ada yang tahu. Bisa jadi, esok adalah waktu di mana hati kita akan hancur menjadi butiran debu dan mustahil untuk diobati kembali. Meski begitu, aku selalu mempunyai pendapat tersendiri.

Aku pikir mengenai perasaan bahagia dan sedih, selalu ada relasi yang timpang dan tidak adil di antara keduanya. Walaupun aku sedikit mengetahui bahwa perasaan tersebut pada faktanya merupakan hasil dari reaksi kimia dalam tubuh, akan tetapi aku tetap ingin mengganggapnya dengan sesuatu yang afektif dan menyentuh kedalaman hati alih-alih mereduksinya sebagai pengalaman saintis semata.

Ketidakadilan dan ketimpangan, sebagaimana aku menyebutnya, serta merta berasal dari kecenderungan yang mana bisa dilacak asal-usulnya pada pengalaman hidup serta keseharian kita. Kebahagiaan hanya hadir dalam momen yang sifatnya temporal. Pada hari itu dan hanya untuk waktu itu. Kebahagiaan adalah suatu perasaan yang kenikmatannya terpenjara dalam ruang dan waktu. Meraih kebahagiaan hanya dengan membayangkannya adalah omong kosong. Memikirkan mengenai kebahagiaan, bagiku, adalah sia-sia di dalam realitas yang sama sekali tidak mendukung dan cenderung memaksa kita untuk terus berderai air mata. Singkatnya, kebahagiaan adalah suatu proses menuju kemurungan.

Sementara sebaliknya. Kesedihan adalah sesuatu yang bisa bebas untuk dirasakan. Ibaratnya seorang anak kecil yang baru mengenal dunia, ia dapat hadir dan berlari menuju ke sana dan ke mari. Kita akan selalu sedih lantaran semua yang bisa kita ingat, rasakan, dan sebagainya, selalu menyimpan kenangan. Kita sepenuhnya sadar bila kenangan adalah momen yang tidak dapat diulang kembali. Semua berubah dan tidak ada yang berubah selain perubahan itu sendiri. Maka, selamat datang dalam kondisi yang sangat mengecewakan!

Berbincang mengenai kesedihan, makin hari aku sendiri semakin menyadari bila aku merupakan pribadi yang mudah terenyuh. Sama seperti kalian, mungkin. Aku tidak pernah dapat menahan kuasa untuk tidak memejamkan mata dan melintasi beragam kenangan yang tersalur dari sebuah lagu atau film. Memang menurutku, ada banyak sekali hal yang menyimpan goresan memori, sekecil apa pun. Misalnya, Desember.

Dari tahun ke tahun, bulan Desember selalu menyisakan beragam kenangan. Selalu ada yang dapat diingat dari Desember, meski 31 hari itu penuh dengan momen tangis, tragis, manis, bahkan sayu. Barang kali ini merupakan salah satu alasan dari banyaknya musisi yang membuat lagu dengan judul atau tentang Desember, seperti Blink-182 bersama Boxing Day-nya, Neck Deep dalam December-nya, dan curahan kerinduan Taylor Swift melalui Back to December-nya.

Semuanya, tentang Desember!

Ada apa dengan Desember? Mengapa ia begitu mudah terkenang dibandingkan 11 bulan lainnya? Aku tidak pernah menemukan jawabannya. Yang jelas untuk Desember yang akan datang, semoga ia bisa bersahabat denganku.

Catatan: Tulisan ini selesai dirangkai pada akhir bulan September lalu. Namun, karena satu dan banyak hal, baru dipublikasikan bulan Desember 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis