Arah Baru Arah Karsa

 

(Soir Bleu oleh Edward Hopper, 1914)

ADA semacam perasaan menggebu-gebu nan aneh yang datang tanpa alasan dan menghantui isi kepala. Itu seperti terus berbisik kepadaku agar kembali menyusun tulisan remeh-temeh mengenai Arah Karsa. Rasanya, seperti beberapa persoalan belum selesai sehingga aku harus meluapkannya melalui dua atau tiga judul tulisan segera.

SEBENARNYA, ketika merangkai kata secara perlahan pada tulisan ini, aku harus menyelesaikan beberapa tugas akademik yang telah memasuki masa tenggat. Namun, dengan begitu bodohnya, di malam yang sunyi dan penuh kegamangan, aku tetap mengetik sampai tidak sadar bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul tiga.

HARI berlalu, sementara tulisan ini belum saja selesai. Aku terjebak pada lingkaran yang seakan membuatku bingung mengenai bagaimana cara menyusun paragraf pembuka. Kalimat seperti apa yang mesti aku hadirkan sebagai ungkapan ekspresi dari hati yang sudah lama ditinggal melati?

YANG bisa aku lakukan hanya menatap layar laptop jam demi jam hingga hari demi hari. Sampai pada titik di mana aku menulis secara tidak karuan, aku menemukan bahwa tulisan ini pada kenyataannya tidak perlu dibuat untuk orang lain. Aku hanya cukup memberi judul dan mengeluarkan kegelisahan serta ketidaknyamananku melalui rangkaian kata-kalimat, entah itu akan enak dibaca atau tidak, bisa dipahami oleh khalayak atau tidak.

BAIK dan buruk bukanlah urusanku. Sementara orang-orang terlelap, aku hanya ingin terjaga dan meletakkan jari jemariku di atas papan ketik sambil menerbangkan pikiran menuju cakrawala pengetahuan yang melampaui semua hal yang ku ketahui, tidak ku ketahui, dan aku ketahui bahwa aku tidak mengetahui.

NAMUN, bisakah kita duduk sebentar hanya untuk sebatas berbincang mengenang hari-hari lalu sebelum masing-masing diri tersadar jika kita sudah sebegitu jauhnya sehingga mustahil untuk kembali dari titik awal kita memulai semua?

SAYANGNYA, tanpa perlu repot-repot mengajukan pertanyaan tersebut, aku sendiri paham bahwa jawabannya adalah tidak. Sama sekali tidak. Meski begitu, matahari dan bulan tetap secara teratur membagi tugasnya. Dua objek itu adalah saksi bisu dari perjalanan kita di dunia ini yang melewati beragam kemurungan.

HARI yang lalu, tampak seperti sebuah penyesalan yang harus terus dialami berulang. Aku hanya bisa menyikapinya secara murung dan berdo’a supaya hari esok diberhentikan. Semua orang akan tenang. Tidak ada lagi tempat bagi mereka-mereka yang hanya bisa berharap jika hari esok akan lebih baik.

BURUK sekali orang-orang yang membuat waktu 24 jam ibarat selembar mata uang bernominal seribu rupiah. Ia hanya menjadi angin lalu: dilewati dan dilintasi begitu saja, tanpa arah pikiran jika itu mungkin dapat menjadi penentu apakah besok kita mampu melihat sinar mentari lagi atau tidak.

YANG pasti hanyalah kematian. Tidak ada lagi hal di dunia ini yang lebih pasti dibanding kematian. Bisakah sesekali hukum kepastian yang mengutuk kematian ditukar dengan secercah kebahagiaan yang terus diharapkan? Sepanjang waktu kita terus menanti kebahagiaan dan lupa jika yang sedang berjalan menuju kita ialah kematian.

MENJADI pesimis bukan perkara yang mudah. Segala bentuk negasi, penolakan, serta sedikit keragu-raguan mesti terus diajukan. Namun, tidakkah pesimi merupakan sikap optimis untuk meniadakan semua hal yang hadir? Lalu pantaskah orang yang mengaku pesimistis dipandang sebagai seorang pesimis? Ataukah optimis? Aku sendiri tidak pernah tahu.

KAWANKU, dalam sebuah perbincangan hangat, pernah berkata kalau suatu saat masing-masing orang akan menemukan jalan kebahagiaannya. Namun, pertanyaanku ialah, bagaimana mungkin seseorang menemukan jalan seperti demikian bila kakinya merasa lelah untuk terus berjalan, matanya sudah tidak dapat lagi memandang, serta hatinya yang terlanjur remuk berkeping-keping selepas keluar dari perjalanan penuh sesak dan isak tangis?

***

Arah Baru Arah Karsa. Sebenarnya aku sama sekali tidak memiliki alasan pasti mengapa mengambil judul tersebut. Aku bahkan tidak memahami apa yang dimaksud oleh term “baru” dalam judul itu. Namun, masa bodoh. Aku tetap akan menyelipkannya di judul.

ARAH KARSA. Sejujurnya terdapat semacam ketidaksengajaan ketika aku memutuskan untuk menggunakannya sebagai nama blog pribadiku. Bahkan, aku sendiri pun masih bingung; apakah penulisannya dipisah (seperti: Arah Karsa) atau digabung (seperti: ArahKarsa atau Arahkarsa).

Pada mulanya, Arah Karsa dibuat sebagai tempat di mana aku bisa mempublikasikan opiniku dalam bentuk tulisan. Ini semacam titik temu antara karakterku yang pemalu nan inferior lantaran tidak pernah berani mempublikasikan di media publik; dengan jiwaku yang menggebu-gebu untuk menulis dan memberitahunya kepada khalayak.

Dalam beberapa bulan lagi di tahun 2022, Arah Karsa akan menginjak usianya yang ke-2 tahun. Selama berdiri, Arah Karsa telah mempublikasikan beragam tulisan yang apabila dibaca secara perlahan, aku yakin makan malammu akan memaksa untuk keluar dari pencernaan. Tulisan-tulisan tersebut rata-rata disusun selama tiga sampai tujuh hari lamanya.

Aku tidak tahu apakah rentang waktu demikian termasuk cepat atau lambat untuk menyusun teks yang jumlahnya berkisar 1000 sampai 2500 kata, akan tetapi aku selalu berprinsip jika menulis dan beropini tanpa riset serta sumber referensi ibarat sayur tanpa garam: ia terasa hambar dan tidak layak disajikan kepada orang lain. Maka dari itu, kadang kala aku bisa menghabiskan waktu tiga hari penuh hanya untuk membaca artikel penelitian dan beberapa halaman buku yang memiliki topik terkait dengan apa yang akan aku tulis.

Sampai sekarang, aku tidak pernah merasa jika apa yang aku publikasikan pada Arah Karsa memiliki kualitas yang baik. Sama sekali tidak pernah. Rasanya seperti ada yang selalu kurang dan belum selesai. Namun, itu tidak pernah terdeteksi oleh diriku.

Sesudah melalui beragam fase, momen, dan semacamnya, aku menyadari jika Arah Karsa telah membantuku untuk berjuang melawan beragam krisis yang menghampiri. Dalam kurun waktu empat sampai lima bulan terakhir, Arah Karsa sudah menjadi saksi bagaimana aku seolah dihadapkan dua pilihan ketika menulis; antara hidup mati.

Dalam waktu yang seperti itu, ketika mengolah rangkaian kata untuk menjadi sebuah kalimat, aku seperti sedang memegang sesuatu di kedua tanganku; tangan kanan mengenggam pena dan tangan kiri mengepal belati. Kondisi demikian seakan memaksaku untuk memilih, apakah aku harus menggoreskan tinta pena yang pekat pada sebuah kertas putih polos atau mengakhiri semuanya dengan menghujamkan belati itu tepat ke jantung?*

Setelah memperhatikan begitu lama cara menulisku selama beberapa bulan terakhir, aku merasa ada suatu yang berbeda. Terdapat semacam ketenangan tersendiri yang kurasakan kala menulis sesuka hati. Hanya mengekspresikan apa yang sedang kupikirkan tanpa perlu memperhatikan tata aturan kepenulisan yang baku serta memedulikan korelasi antara paragraf satu dengan yang lainnya.

Jika ditarik ke belakang, tulisan yang kubuat dengan model semacam itu bisa dilihat dari artikel Karena semuanya bukanlah apa-apa, memoar utopia tentang kebahagiaan, serta seri Aku, Aku, Aku, dan. Kesemuanya adalah teks yang dibuat dengan sekali nafas. Dalam artian, aku hanya menatap layar laptop, mengetik, dan kemudian mempublikasikannya. Tidak ada penyuntingan, riset, atau lainnya. Hanya semacam itu.

Aku tidak menilai itu bagus, akan tetapi juga tidak menganggap hal buruk. Yang jelas, aku seperti telah mendapat karakteristikku sendiri, setelah lamanya. 

*Terinspirasi dari tafsir Akheiron (Rifky Syarani Fachry, 2021) oleh Fahmy Farid Purnama dalam acara Hajatan Sastra (https://www.youtube.com/watch?v=do4APRO42sc).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan