Karena Semuanya, Bukanlah Apa-Apa



Aku benci kepada semuanya, karena semuanya bukanlah apa-apa
Aku marah, karena semuanya bukan apa-apa.

Hari ini, apa yang pantas kita cintai? Kita sayangi? Kita kasihi?

Semua berlalu begitu cepat.
Jarum jam berputar seperti orang yang lari terbirit dikejar hutang!
 
Tidak ada momen yang pantas untuk dikenang.
Tidak ada memori yang pantas disimpan.
 
Aku benci semuanya, karena semuanya bukanlah apa-apa!
 
Apa itu hidup? Apa itu manusia? Apa itu cinta?
Apakah jawaban dari ketiga pertanyaan ini harus dilihat secara optimis? Ataukah pesimis?

Bagaimana mungkin bisa menjawabnya secara optismis sementara kita selalu menangis karenanya? Kita selalu merasa kalah karenanya; dan kita selalu gagal di hadapannya.

Bagaimana mungkin bisa menjawabnya secara pesimis sementara kita selalu bahagia karenanya? Kita selalu merasa senang Karenanya; dan kita selalu riang, seperti anak kecil mengemut permen, di hadapannya.

Apa yang bisa dimaknai dalam hidup yang semua isinya bukanlah apa-apa?

Apa yang bisa kita tangisi? Kepergian orang yang kita sayang? Atau matinya diri kita di hadapan sang Liyan?

Manusia selalu salah, dan manusia selalu belajar.
Lalu, bagaimana Tuhan belajar sementara ia tidak pernah merasakan pahitnya kesalahan? 

Apa yang pantas kita sesali? Kita tangisi? Kita benci? Sementara, semuanya bukanlah apa-apa?

Untuk orang-orang kalah, orang-orang miskin, ataupun orang-orang menyedihkan. tidak perlu menangisi hari ini, kemarin, dan esok hari.

Karena, semuanya bukanlah apa-apa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan

Mangiarotti