Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Emosional
Ada ungkapan yang menyebut jika hal yang paling sakit bukanlah ketika
kulit kita tergores paku berkarat, bukan pula saat lutut kita menghantam
kerasnya aspal. Melainkan, pada waktu diri kita benar-benar menyadari jika
orang yang memberikan momen berbahagia, waktu berharga, serta beragam ingatan
yang menyenangkan, singkatnya kenangan indah, menjadi sebuah kenangan.
Kehilangan seseorang yang kita cintai, kasihi, dan sayangi, aku pikir, sama rasanya kala puluhan pisau menghunjam dada dan menembus jantung kita. Seluruh tubuh terasa lesu serta sesak. Beragam aktivitas yang biasa kita lakukan menjadi tidak enak dijalani karena pikiran kita yang secara tidak karuan terus terbayang mengingat-ngingat kembali memori abstrak yang telah dilalui dan sadar sepenuhnya bahwa itu mustahil untuk diulang.
Apa yang dimaksud kehilangan di sini tidak memiliki penyebab tunggal. Itu bisa saja karena kematian, hingga karena adanya perubahan sikap dan perasaan dari diri orang yang tiap hari kita pikirkan.
Soal kematian? Bagiku itu adalah takdir. Penyebab mengapa Tuhan tiba-tiba memanggil keluarga, teman, hingga kekasih yang kita sayang secara mutlak tidak bisa dipertanyakan. Pun jika kita kehilangan mereka yang memberi kebahagiaan karena kematian, kita masih bisa berharap bahwa mereka telah diutus oleh Tuhan untuk pergi ke tempat yang jauh lebih baik dari semesta. Ada secercah harapan yang masih bersinar di sana, yang bagiku, mampu menjadi penuntun agar kita tidak terlalu lama larut dalam kesedihan.
Namun, bagaimana soal kehilangan lantaran seseorang yang kita sayangi
tiba-tiba berpaling dan merubah sikapnya hingga akhirnya memilih untuk pergi
meninggalkan?
“People change, feelings change. It doesn’t mean that love once shared wasn’t true and real. It simply
just means that sometimes when people grow, they grow apart.”
Aneh rasanya ketika kita menatap wajahnya dan hati kecil tanpa fafifu
bersuara: “mungkin ini adalah orang yang tepat. Aku bahagia bersamanya dan
berharap kebersamaan ini berlangsung selamanya”, tiba-tiba tanpa sedikit pun
peringatan dan aba-aba, keesokan hari atau beberapa waktu setelahnya, seseorang
yang selalu kita temui dalam mimpi saat terlelap, pergi begitu saja.
Tidak ada lagi yang memenuhi notifikasi pesan dan panggilan. Tidak ada
lagi sosok yang setiap malam bertanya tentang kabar kita, bagaimana hari-hari
kita, hingga hal remeh-temeh yang sebenarnya tidak penting untuk ditanyakan. Namun, tetap kita
jawab dengan antusiasme luar biasa lantaran pertanyaan tersebut dilontarkan
oleh seseorang yang kita sayang.
Begitu cepat waktu berlalu hingga malam penuh canda tawa yang biasa dihabiskan
bersama, kini, hanya menjadi sebuah cerita untuk dikenang.
“I've given a lot of thought to the nights we use to have. The
days have come and gone, our lives went by so fast.”
Aku berani bertaruh bahwa kita semua pasti pernah mengalami hal ini,
dengan ukuran yang berbeda tentunya. Sepanjang tahun, aku sendiri telah
mengalami banyak perasaan kehilangan lantaran ada semacam perubahan yang
terjadi dalam diri mereka. Entah itu teman atau orang yang aku pikir akan
selamanya mewarnai hidupku.
Adakalanya aku sendiri marah dan kesal. Bukan perihal ditinggal pergi,
melainkan karena berpikir mengapa bisa-bisanya aku mesti membangun momen
bahagia dan kenangan indah bersama seseorang yang pada akhirnya pergi dengan
hanya meninggalkan rasa kecewa.
“I'm empty like the day after Christmas. Swept beneath the
wave of your goodbye. You left me on the day after Christmas.
There's nothing left to say, and so goodnight.”
Bayangkan rasanya ketika diri kita terbangun di pagi hari dan sadar
bahwa semuanya sudah berlalu. Kita sadar bahwa kini kita hanyalah seorang diri.
Hanya ada sakit, pedih, dan perih. Betapa lelahnya mata yang harus terlebih
dahulu mengeluarkan tangis hanya agar dapat terpejam dengan tenang saat
malam.
“I can't forgive, can't forget, can't give in what went wrong cause, you said this was right. You fucked up my life!”
Belum lagi kita harus berhadapan dengan kemungkinan yang bisa mengganggu jiwa kita. Seperti misalnya, melihat mereka, orang yang kita sayang, bergandengan tangan dengan orang lain dengan raut wajah yang sangat gembira. Atau, melihat akun media sosialnya yang mengunggah sebuah foto sebagai tanda kemesraan dan kedekatan antara dirinya dengan orang lain.
Sementara kita berdiri di sudut jalan gelap dengan perasaan yang masih sama, ia justru sedang asik bersama orang lain di sebuah ruangan terang yang penuh kebahagiaan. Seakan memberi kesan bahwa semua kenangan yang dibangun bersama kita dulu bukanlah apa-apa.
“All the days you spent with me, now seem so far away. And it feels like
you don’t care anymore.”
Apa yang salah dari diri kita sehingga harus berhadapan dengan situasi yang penuh sesak ini? Haruskah kita marah? Atau menangis?
“I’m kicking out fiercely at the world around me. What went wrong?”
Kehidupan kita pada dasarnya adalah aktivitas melihat orang-orang datang dan pergi. Ada pepatah yang menyebut “jangan terlalu berharap banyak kepada seseorang”. Ya! Itu benar. Kita tidak bisa mengontrol atau mengehendaki apakah seseorang bisa datang dan pergi begitu saja ke kehidupan kita. Namun, jika boleh bertanya, mengapa aktivitas semacam ini selalu saja meninggalkan luka pedih yang penawarnya tidak bisa ditemukan di toko obat mana pun?
“I will follow the trail to tomorrow. With my loneliness with sorrow all through the night.”
Pada akhirnya, kita hanya bisa ikhlas dan melapangkan dada sebesar-besarnya untuk hal semacam ini. Toh bukankah perjalanan kita masih panjang? Setidaknya, pengalaman ketika menyadari bahwa seseorang yang memberi kita kenangan telah pergi dan menjadi sebuah kenangan adalah sesuatu yang mana kita bisa belajar darinya: bahwa kita harus berhati-hati agar tidak terjebak pada kondisi yang memaksa kita untuk membangun sebuah ruang memori indah bersama seseorang.
Sekarang, mari saatnya untuk melanjutkan kehidupan kita seperti sediakala. Meski itu harus dipenuhi dengan tangisan, kesedihan, dan kesendirian!
Komentar
Posting Komentar