Review Artikel Jurnal: Peranan Sekolah Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural karya Nur Kholik

Agar tidak disangka sebagai seseorang yang cukup blablabla dan sebagainya karena telah melakukan review pada suatu artikel jurnal, saya ingin menyampaikan suatu hal bahwasanya teks ini saya susun untuk memenuhi tugas akademik saya satu tahun lalu. Kini, saya kembali membuka teks review ini. Setelah dibaca dengan seksama, saya pikir merupakan suatu hal yang tidak sia-sia apabila teks ini turut dipublikasikan dalam (Go)blog pribadi saya ini. Supaya cukup terlihat sebagai penulis yang intelek dan kritis (persetan dengan kedua kata itu. Saya tidak pernah peduli), saya telah melakukan beberapa perubahan pada beberapa hal seperti struktur kalimat atau pemilihan kata yang sebelumnya acak-acakan (sama seperti hidup saya!) yang tampaknya tidak berpengaruh apa-apa (Saya berani bertaruh kalau anda akan muak dan ingin muntah setelah dua menit membaca teks ini). Penambahan catatan kaki pun juga saya lakukan semata-mata, guna terlihat sebagai sosok penulis yang memiliki banyak referensi (sebenarnya saya jarang sekali membaca atau malah tidak pernah sama sekali(?)). Ya intinya, teks yang saya tulis ini merupakan hasil pemikiran saya satu tahun lalu dan tidak ada yang sama sekali spesial darinya. Berbagai perubahan dan penambahan seperti yang telah saya jelaskan di atas sejatinya dilakukan karena hari ini saya tidak punya kegiatan dan merasa ingin mengerjakan suatu hal agar dianggap tetap produktif (Meskipun sepenuhnya sadar jika masih banyak tugas akademik yang belum dikerjakan!). Haha~


***


Judul : Peranan Sekolah Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural
Penulis : Nur Kholik
Penerbit         : Jurnal Tawadhu
Volume         : 1 no. 2
Halaman         : 244-271
Tahun Terbit : 2017
Tautan Akses : https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/TWD/article/viewFile/13/17


a. Pendahuluan

Dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural maupun geografis yang mencerminkan keadaan masyarakat Indonesia yang multikultural, kemudian artikel jurnal berjudul “Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural” yang ditulis oleh Nur Kholik[1] ini secara garis besar mencoba untuk membahas topik seputar masyarakat multikultural dan keterkaitannya dengan dunia atau lembaga pendidikan formal berupa sekolah di Indonesia. Dalam artikelnya ini, Nur Kholik melihat bahwa sejatinya kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, agama, etnis, dan sebagainya ibarat sebuah koin yang mempunyai dua sisi: di satu sisi ia hadir sebagai sebuah kekayaan dan kebanggaan bagi bangsa, akan tetapi di sisi lain ia hadir dalam bentuknya yang mengancam.

Jika dicermati, negara atau bangsa yang mempunyai masyarakat multikultur (heterogen) dapat dikatakan lebih banyak mempunyai ancaman untuk terdisintegrasi apabila dibandingkan dengan suatu negara atau bangsa yang tampil dengan masyarakatnya yang homogen. Tak lain adalah bahwa hal itu disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan ciri khas di dalam masyarakat itu sendiri. Tak jarang, kita dapat menemukan bagaimana banyaknya konflik berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang berpotensi besar menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa seperti halnya yang banyak terjadi di Indonesia.[2] Dari urgensi semacam itu, kemudian artikel jurnal ini berusaha untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut. Nur Kholik sebagai penulis artikel jurnal ini mengambil peran institusi atau lembaga pendidikan sebagai solusi untuk mengatasi konflik dalam negeri yang bersifat SARA.

Secara garis besar nan ringkas, pembahasan artikel jurnal ini menekankan pada persoalan mengenai bagaimana pendidikan multikultiral harus ditanamkan sejak dini kepada individu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk membiasakan diri agar setiap individu dapat senatiasa untuk bersikap menghargai dan menghormati kepada sesuatu “yang berbeda” atau “yang lain” daripadanya. Tak hanya sampai situ, artikel jurnal ini pun juga menelusuri dan membahas tentang bagaimana peran sekolah dari segi kurikulum, tenaga pengajar (guru), dan juga materi-materi pembelajaran yang ada di dalamnya yang berhubungan erat dengan pengembangan pendidikan multikultural di Indonesia.



b. Pembahasan

Bagian pembahasan mengenai artikel jurnal ini akan dimulai dengan penjelasan terkait pendapat pribadi saya terkait topik pembahasan yang disoroti dalam artikel jurnal ini baik itu berupa tanggapan ataupun kritik. Selepas itu, barulah penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan yang termuat di dalam artikel jurnal ini.

 Secara pribadi, saya sendiri sangat tertarik dengan topik yang ditawarkan Nur Kholik dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural” ini. Secara garis besar, saya melihat bahwasanya artikel yang ditulisnya berusaha untuk mengoptimalisasi peran lembaga pendidikan formal dalam kehidupan masyarakat multikultural. Terlihat jelas di sini bahwa lembaga pendidikan tidak sebatas dipandang hanya sebagai unit ekonomi yang berperan untuk menyiapkan tenaga kerja dalam memenuhi sektor industri. Namun lebih daripada itu, ia juga dapat diibaratkan sebagai katup pengaman untuk mencegah terjadinya konflik dari adanya keanekaragaman ciri dalam masyarakat. Ia menjadi katup pengaman karena sejatinya pendidikan multikultural memuat tema-tema mengenai toleransi, perbedaan ethno-cultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokratisasi, pluralitas dan tema lain yang secara praktis relevan dalam kondisi masyarakat multikultur,
Barangkali secara fungsional, di sini saya beranggapan bahwa artikel jurnal ini pada dasarnya ingin menjelaskan jika lembaga pendidikan memiliki peranan sangat penting dalam menanamkan nilai atau ide tertentu ke dalam diri individu. Nilai atau ide yang dimaksud tentunya yang secara praktis berkaitan erat dengan rasa saling menghormati, menghargai, dan toleransi terhadap perbedaan, karena nilai atau ide semacam itu dalam konteks pembahasan ini memiliki keterikatan untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya konflik yang bersifat SARA.

Selain itu pula, pengintergrasian antara pendidikan dan budaya (kultur) yang terkandung dalam artikel jurnal ini sangat tepat untuk dilakukan karena pada dasarnya pula, pendidikan dan kultur merupakan sebuah satu kesatuan. Melalui proses pendidikan maka terbentuklah sebuah budaya (yang mana dalam konteks ini merupakan budaya untuk saling terbuka kepada segala perbedaan). Pendidikan melahirkan sebuah pola pikir, pola kerja, serta pola tingkah laku yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi kebiasaan yang berpola dan itulah kemudian yang disebut budaya.[3]

Berkaitan dengan itu, meski saya sepakat dengan urgensi keberadaan pendidikan multikultural di tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri heterogen yang dituliskan oleh Nur Kholik dalam artikel jurnalnya ini, akan tetapi ada sedikit kritik yang mesti saya sampaikan bersamaan dengan tanggapan yang telah saya tuliskan sebelumnya. Kritik yang saya bangun dimulai dari ketidaksepakatan saya terhadap penempatan lembaga pendidikan berupa sekolah formal sebagai basis dari pelaksanaan pengembangan pendidikan multikultural. Ketidaksepakatan saya itu sedikit-banyak dipengaruhi oleh teoritisi sosial yang telah sangat berusaha untuk mengkritik sekolah formal sebagai institusi pendidikan itu sendiri.

Sebagaimana yang diketahui bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan dalam dunia pendidikan yang progresif untuk melakukan perubahan atau transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan. Selain itu, pendidikan multikultural menurut Ainurrafiq Dawam merupakan sebuah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralis dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran kepercayaan (agama).[4]

Pendefinisian terkait pendidikan multikultural tersebut memanglah sangatlah indah, akan tetapi saya rasa akan sangat sulit sekali jika diterapkan untuk dikembangkan di dalam lembaga sekolah formal. Meskipun dalam bahasannya, Nur Kholik sudah menjelaskan bagaimana strategi dan perencanaan pembelajaran pendidikan multikultural di sekolah. Namun, saya rasa apa yang telah ia tawarkan terkait cara penerapan pendidikan multikultural masih terjebak dalam ungkapan “seharusnya”, “seyogyanya”, “sejatinya” yang mana menurut saya sendiri hal itu merupakan gambaran dari bagaimana Nur Kholik sedikit gagal untuk melihat kondisi yang sebenarnya. Secara realitas, sekolah justru merupakan sumber dari keseragaman yang tentu saja menafikan eksistensi dari keberagaman yang dibawa oleh pendidikan berbasis multikultur. Sampai saat ini, sekolah sebagai lembaga pendidikan telah mendapat berbagai macam kritik dari para teoritisi sosial.

Misalnya saja Pierre Bourdieu menyebut bahwa sekolah hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Pada dasarnya ia hanya menjalankan proses reproduksi kebudayaan untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi. Kelas dominan dapat mempertahankan posisinya melalui hidden curriculum. Sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas mereka melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam setiap aktivitasnya.[5] Siswa yang berasal dari kelas bawah akan mengembangkan cara bertindak dan berbicara sesuai dengan apa yang biasa dilakukan oleh kelas dominan. Hal tersebut biasa diistilahkan Bourdieu sebagai habitus.[6] Lebih lanjut, Bourdieu mengungkapkan jika sekolah merupakan tempat yang paling tepat untuk menyebar habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami sehingga muncul pemahaman bahwa habitus kelas dominan merupakan satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap siswa seakan-akan mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut.
Dalam kaitannya dengan artikel jurnal ini, perspektif kritis dari Pierre Bourdieu yang melihat sekolah sebagai tempat munculnya reproduksi kultural, berhasil mengkritik bahwasanya pendidikan multikultural sangat sulit diterapkan di sekolah-sekolah karena sejatinya sekolah layaknya sebuah arena di mana ada berbagai kelompok yang saling bertarung untuk mendapatkan dominasinya. Dalam pemahaman itu, menurut saya, pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang hanya bisa hadir bersamaan dengan mentransformasikan secara menyeluruh sistem pendidikan yang ada agar menjadi lebih dialogik[7] dan berorientasi untuk membebaskan alih-alih untuk lebih mengedepankan hal-hal praktis seperti untuk mempersiapkan tenaga kerja dan sebagainya. Lebih lanjut, saya kira apabila pendidikan multikultural tetap dipaksa untuk berada ditengah-tengah sistem pendidikan yang satu arah, maka ia hanya muncul sebagai sesuatu yang normatif yang tentu saja tidak atau setidaknya sedikit berdampak pada kehidupan sosial. Pastinya, hal itu merupakan sebuah bentuk reduksi dari konsepsi objektif mengenai pendidikan multikultural yang secara progresif ada untuk menyadarkan masyarakat akan konsekuensi dari keberagaman.

Sampai sini, saya rasa mungkin akan timbul pertanyaan terkait solusi atau alternatif lain apa yang dapat menggantikan posisi sekolah jika lembaga pendidikan sekolah formal itu sendiri justru merupakan sumber dari keseragaman yang mengingkari keberagaman yang dibawa oleh pendidikan multikultural. Saya sendiri pun masih kesulitan untuk mencari jawabannya, akan tetapi satu hal yang pasti, saya pikir pertanyaan tersebut barangkali dapat menjadi sebuah otokritik dari kritik yang telah saya ungkapkan untuk ditujukan kepada artikel jurnal yang ditulis oleh Nur Kholik tersebut.

Kemudian, setelah tanggapan pribadi saya baik itu berupa kesepakatan dan ketidaksepakatan saya mengenai artikel jurnal yang sudah ditulis di atas, barulah beranjak pada sedikit pembahasan tentang kelebihan dan kekurangan dari isi artikel jurnal ini. Secara umum, terkait kelebihan, artikel jurnal ini menurut saya sudah menjelaskan dengan cukup detail bagaimana lembaga pendidikan sekolah dalam mengembangkan pendidikan multikultural. Terdapat berbagai sumber rujukan yang terselip untuk menguatkan argumentasi dari penulisan artikel jurnal tersebut.

Lalu tentang kelemahan, saya sendiri agak kesulitan untuk menemukan kelemahan pada artikel jurnal ini, tapi meski begitu satu-satunya yang bisa saya lihat mengenai kelemahan pada artikel jurnal ini adalah mungkin tiadanya kritik sebagai antitesis dari penulis terhadap topik yang dibahas. Menurut saya, jika Nur Kholik juga menyelipkan otokritik dari topik yang ia bahas sendiri, nantinya akan ada semacam proses falsifikasi sehingga wacana terkait lembaga pendidikan sekolah dalam mengembangkan pendidikan multikultural bisa lebih baik lagi karena mungkin saja ada penyempurnaan yang hadir dalam artikel-artikel jurnal selanjutnya. Dengan begitu topik terkait pendidikan multikultural tidak hanya dapat dibahas dalam tataran teoretis, namun juga praktis.



c. Penutup

Kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia yang sangat heterogen menyebabkan adanya urgensi dari kemunculan pendidikan multikultural. Keberadaan pendidikan multikultural secara praktis ada untuk meminimalisir munculnya konflik di antara masyarakat karena faktor perbedaan ciri. Salah satu cara agar pendidikan multikultural dapat berjalan dengan efektif adalah dengan menempatkannya pada lembaga pendidikan sekolah. Sekolah sebagai tempat yang dapat diakses oleh siapa saja merupakan sebuah posisi strategis untuk menanamkan ide atau nilai untuk bersikap terbuka pada segala perbedaan. Namun, hal itu juga tak luput dari kritik yang menganggap sekolah justru ibarat sebuah arena di mana di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang saling bertarung untuk mendapatkan kekuasaan untuk mendominasi. Jika polanya seperti itu, maka justru sekolah sejatinya merupakan sumber dari keseragaman yang barangkali tentu menafikan keberagaman yang dibawa oleh pendidikan multikultural. Meskipun secara realitas tampaknya sangat sulit untuk diterapkan, akan tetapi tetap tak ada salahnya untuk mengoptimalisasi sekolah sebagai ruang berkembangnya pendidikan multikultural mengingat terdapat banyaknya juga kelebihan dari lembaga pendidikan sekolah untuk menyokong keberadaan dari pendidikan multikultural itu sendiri.



Catatan Kaki:

[1] Penulis artikel jurnal ini merupakan seorang Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Purwokerto.

[2] Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan. Banyak orang yang belum juga menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini telah dibuktikan di beberapa wilayah konflik di Indonesia seperti di Sambas (Kaliamantan Barat), Poso (Sulawesi), Aceh (Sumatra) ataupun perkelahian antar kampung yang kerap terjadi di beberapa wilayah di Jawa seperti di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat). Lihat S.W Septiarti dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2017), hal. 270.

[3] Ibid. hal. 239.

[4] Zaitun, Sosiologi Pendidikan: Analisis Komprehensif Aspek Pendidikan dan Proses Sosial, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2015), hal. 37.

[5] Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah. (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 41.

[6] Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Individu belajar tentang apa yang berada di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespons aktivitas dirinya jika mereka melakukan cara yang tidak biasanya, Ibid. hal. 37.

[7] Menurut Paulo Freire, pendidikan dialogik selalu bersifat kooperatif. tindakan yang dialogik akan membangun kesatuan melalui perombakan struktur sosial-budaya yang menindas. Lawan dari dialogik adalah antidialogik. pendidikan atau tindakan yang antidialogik ditandai dengan usaha untuk menguasai manusia yang membuat manusia itu tunduk, pasif, serta selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga tetap tertinggal. Tindakan yang antidialogik dalam hal ini akan memecah-belah masyarakat yang nantinya bertujuan untuk melestarikan status-quo. Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (Jakarta: PT. Sangkala Pulsar, 1984), hal. xxi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senin Pagi dan Mentari yang Mungkin Tidak Bersinar Lagi

Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Pesimistis

DESEMBER atau: Bagaimana Aku Menafsir dan Menemui Kemurungan