Review Artikel Jurnal: Peranan Sekolah Sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural karya Nur Kholik
Agar tidak disangka sebagai seseorang yang cukup blablabla dan sebagainya karena telah melakukan review pada suatu artikel jurnal, saya ingin menyampaikan suatu hal bahwasanya teks ini saya susun untuk memenuhi tugas akademik saya satu tahun lalu. Kini, saya kembali membuka teks review ini. Setelah dibaca dengan seksama, saya pikir merupakan suatu hal yang tidak sia-sia apabila teks ini turut dipublikasikan dalam (Go)blog pribadi saya ini. Supaya cukup terlihat sebagai penulis yang intelek dan kritis (persetan dengan kedua kata itu. Saya tidak pernah peduli), saya telah melakukan beberapa perubahan pada beberapa hal seperti struktur kalimat atau pemilihan kata yang sebelumnya acak-acakan (sama seperti hidup saya!) yang tampaknya tidak berpengaruh apa-apa (Saya berani bertaruh kalau anda akan muak dan ingin muntah setelah dua menit membaca teks ini). Penambahan catatan kaki pun juga saya lakukan semata-mata, guna terlihat sebagai sosok penulis yang memiliki banyak referensi (sebenarnya saya jarang sekali membaca atau malah tidak pernah sama sekali(?)). Ya intinya, teks yang saya tulis ini merupakan hasil pemikiran saya satu tahun lalu dan tidak ada yang sama sekali spesial darinya. Berbagai perubahan dan penambahan seperti yang telah saya jelaskan di atas sejatinya dilakukan karena hari ini saya tidak punya kegiatan dan merasa ingin mengerjakan suatu hal agar dianggap tetap produktif (Meskipun sepenuhnya sadar jika masih banyak tugas akademik yang belum dikerjakan!). Haha~
a. Pendahuluan
Dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural maupun geografis yang mencerminkan keadaan masyarakat Indonesia yang multikultural, kemudian artikel jurnal berjudul “Peranan Sekolah sebagai Lembaga Pengembangan Pendidikan Multikultural” yang ditulis oleh Nur Kholik[1] ini secara garis besar mencoba untuk membahas topik seputar masyarakat multikultural dan keterkaitannya dengan dunia atau lembaga pendidikan formal berupa sekolah di Indonesia. Dalam artikelnya ini, Nur Kholik melihat bahwa sejatinya kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, agama, etnis, dan sebagainya ibarat sebuah koin yang mempunyai dua sisi: di satu sisi ia hadir sebagai sebuah kekayaan dan kebanggaan bagi bangsa, akan tetapi di sisi lain ia hadir dalam bentuknya yang mengancam.
Jika dicermati, negara atau bangsa yang mempunyai masyarakat multikultur (heterogen) dapat dikatakan lebih banyak mempunyai ancaman untuk terdisintegrasi apabila dibandingkan dengan suatu negara atau bangsa yang tampil dengan masyarakatnya yang homogen. Tak lain adalah bahwa hal itu disebabkan karena adanya perbedaan-perbedaan ciri khas di dalam masyarakat itu sendiri. Tak jarang, kita dapat menemukan bagaimana banyaknya konflik berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang berpotensi besar menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa seperti halnya yang banyak terjadi di Indonesia.[2] Dari urgensi semacam itu, kemudian artikel jurnal ini berusaha untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut. Nur Kholik sebagai penulis artikel jurnal ini mengambil peran institusi atau lembaga pendidikan sebagai solusi untuk mengatasi konflik dalam negeri yang bersifat SARA.
Secara garis besar nan ringkas, pembahasan artikel jurnal ini menekankan pada persoalan mengenai bagaimana pendidikan multikultiral harus ditanamkan sejak dini kepada individu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk membiasakan diri agar setiap individu dapat senatiasa untuk bersikap menghargai dan menghormati kepada sesuatu “yang berbeda” atau “yang lain” daripadanya. Tak hanya sampai situ, artikel jurnal ini pun juga menelusuri dan membahas tentang bagaimana peran sekolah dari segi kurikulum, tenaga pengajar (guru), dan juga materi-materi pembelajaran yang ada di dalamnya yang berhubungan erat dengan pengembangan pendidikan multikultural di Indonesia.
b. Pembahasan
Bagian pembahasan
mengenai artikel jurnal ini akan dimulai dengan penjelasan terkait pendapat
pribadi saya terkait
topik pembahasan yang disoroti dalam artikel jurnal ini baik itu berupa
tanggapan ataupun kritik. Selepas itu, barulah penjelasan mengenai kelebihan
dan kekurangan yang termuat di dalam artikel jurnal ini.
Selain itu pula, pengintergrasian antara pendidikan dan budaya (kultur) yang terkandung dalam artikel jurnal ini sangat tepat untuk dilakukan karena pada dasarnya pula, pendidikan dan kultur merupakan sebuah satu kesatuan. Melalui proses pendidikan maka terbentuklah sebuah budaya (yang mana dalam konteks ini merupakan budaya untuk saling terbuka kepada segala perbedaan). Pendidikan melahirkan sebuah pola pikir, pola kerja, serta pola tingkah laku yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi kebiasaan yang berpola dan itulah kemudian yang disebut budaya.[3]
Berkaitan dengan itu,
meski saya sepakat dengan urgensi keberadaan pendidikan multikultural di
tengah-tengah masyarakat yang memiliki ciri heterogen yang dituliskan oleh Nur
Kholik dalam artikel jurnalnya ini, akan tetapi ada sedikit kritik yang mesti
saya sampaikan bersamaan dengan tanggapan yang telah saya tuliskan sebelumnya.
Kritik yang saya bangun dimulai dari ketidaksepakatan saya terhadap penempatan
lembaga pendidikan berupa sekolah formal sebagai basis dari pelaksanaan pengembangan pendidikan multikultural.
Ketidaksepakatan saya itu sedikit-banyak dipengaruhi oleh teoritisi sosial yang
telah sangat berusaha untuk mengkritik sekolah formal sebagai institusi
pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana yang diketahui bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan dalam dunia pendidikan yang progresif untuk melakukan perubahan atau transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses pendidikan. Selain itu, pendidikan multikultural menurut Ainurrafiq Dawam merupakan sebuah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralis dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran kepercayaan (agama).[4]
Pendefinisian terkait
pendidikan multikultural tersebut memanglah sangatlah indah, akan tetapi saya
rasa akan sangat sulit sekali jika diterapkan untuk dikembangkan
di dalam lembaga sekolah formal. Meskipun dalam bahasannya, Nur Kholik sudah
menjelaskan bagaimana strategi dan perencanaan pembelajaran pendidikan
multikultural di sekolah.
Namun, saya rasa apa yang telah ia tawarkan terkait cara penerapan
pendidikan multikultural masih
terjebak dalam ungkapan “seharusnya”, “seyogyanya”, “sejatinya” yang mana menurut
saya sendiri hal itu merupakan gambaran dari bagaimana Nur Kholik sedikit gagal
untuk melihat kondisi yang
sebenarnya. Secara realitas,
sekolah justru merupakan sumber dari keseragaman yang tentu saja menafikan
eksistensi dari keberagaman yang dibawa oleh pendidikan berbasis multikultur. Sampai
saat ini, sekolah sebagai lembaga pendidikan telah mendapat berbagai macam
kritik dari para teoritisi sosial.
Sampai
sini, saya rasa mungkin akan timbul pertanyaan terkait solusi atau alternatif
lain apa yang dapat menggantikan posisi sekolah jika lembaga pendidikan sekolah
formal itu sendiri justru merupakan sumber dari keseragaman yang mengingkari
keberagaman yang dibawa oleh pendidikan multikultural. Saya sendiri pun masih
kesulitan untuk mencari jawabannya, akan tetapi satu hal yang pasti, saya pikir
pertanyaan tersebut barangkali dapat menjadi sebuah otokritik dari kritik yang
telah saya ungkapkan untuk ditujukan kepada artikel jurnal yang ditulis oleh
Nur Kholik tersebut.
Kemudian, setelah tanggapan pribadi saya baik itu berupa kesepakatan dan ketidaksepakatan saya mengenai artikel jurnal yang sudah ditulis di atas, barulah beranjak pada sedikit pembahasan tentang kelebihan dan kekurangan dari isi artikel jurnal ini. Secara umum, terkait kelebihan, artikel jurnal ini menurut saya sudah menjelaskan dengan cukup detail bagaimana lembaga pendidikan sekolah dalam mengembangkan pendidikan multikultural. Terdapat berbagai sumber rujukan yang terselip untuk menguatkan argumentasi dari penulisan artikel jurnal tersebut.
Lalu tentang kelemahan, saya sendiri agak kesulitan untuk menemukan kelemahan pada artikel jurnal ini, tapi meski begitu satu-satunya yang bisa saya lihat mengenai kelemahan pada artikel jurnal ini adalah mungkin tiadanya kritik sebagai antitesis dari penulis terhadap topik yang dibahas. Menurut saya, jika Nur Kholik juga menyelipkan otokritik dari topik yang ia bahas sendiri, nantinya akan ada semacam proses falsifikasi sehingga wacana terkait lembaga pendidikan sekolah dalam mengembangkan pendidikan multikultural bisa lebih baik lagi karena mungkin saja ada penyempurnaan yang hadir dalam artikel-artikel jurnal selanjutnya. Dengan begitu topik terkait pendidikan multikultural tidak hanya dapat dibahas dalam tataran teoretis, namun juga praktis.
c. Penutup
Kondisi
sosial-budaya bangsa Indonesia yang sangat heterogen menyebabkan adanya urgensi
dari kemunculan pendidikan multikultural. Keberadaan pendidikan multikultural
secara praktis ada untuk meminimalisir munculnya konflik di antara masyarakat
karena faktor perbedaan ciri. Salah satu cara agar pendidikan multikultural
dapat berjalan dengan efektif adalah dengan menempatkannya pada lembaga
pendidikan sekolah. Sekolah sebagai tempat yang dapat diakses oleh siapa saja
merupakan sebuah posisi strategis untuk menanamkan ide atau nilai untuk
bersikap terbuka pada segala perbedaan. Namun, hal itu juga tak luput dari
kritik yang menganggap sekolah justru ibarat sebuah arena di mana di dalamnya
terdapat kelompok-kelompok yang saling bertarung untuk mendapatkan kekuasaan
untuk mendominasi. Jika polanya seperti itu, maka justru sekolah sejatinya
merupakan sumber dari keseragaman yang barangkali tentu menafikan keberagaman
yang dibawa oleh pendidikan multikultural. Meskipun secara realitas tampaknya
sangat sulit untuk diterapkan, akan tetapi tetap tak ada salahnya untuk
mengoptimalisasi sekolah sebagai ruang berkembangnya pendidikan multikultural
mengingat terdapat banyaknya juga kelebihan dari lembaga pendidikan sekolah
untuk menyokong keberadaan dari pendidikan multikultural itu sendiri.
Catatan Kaki:
[1] Penulis artikel jurnal ini merupakan seorang Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Purwokerto.
[2] Kemajemukan suku merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang sering dibanggakan. Banyak orang yang belum juga menyadari bahwa kemajemukan tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini telah dibuktikan di beberapa wilayah konflik di Indonesia seperti di Sambas (Kaliamantan Barat), Poso (Sulawesi), Aceh (Sumatra) ataupun perkelahian antar kampung yang kerap terjadi di beberapa wilayah di Jawa seperti di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat). Lihat S.W Septiarti dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2017), hal. 270.
[3] Ibid. hal. 239.
[4] Zaitun, Sosiologi Pendidikan: Analisis Komprehensif Aspek Pendidikan dan Proses Sosial, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2015), hal. 37.
[5] Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah. (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 41.
[6] Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Individu belajar tentang apa yang berada di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespons aktivitas dirinya jika mereka melakukan cara yang tidak biasanya, Ibid. hal. 37.
[7] Menurut Paulo Freire, pendidikan dialogik selalu bersifat kooperatif. tindakan yang dialogik akan membangun kesatuan melalui perombakan struktur sosial-budaya yang menindas. Lawan dari dialogik adalah antidialogik. pendidikan atau tindakan yang antidialogik ditandai dengan usaha untuk menguasai manusia yang membuat manusia itu tunduk, pasif, serta selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga tetap tertinggal. Tindakan yang antidialogik dalam hal ini akan memecah-belah masyarakat yang nantinya bertujuan untuk melestarikan status-quo. Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, (Jakarta: PT. Sangkala Pulsar, 1984), hal. xxi.
Komentar
Posting Komentar