Aku, Aku, Aku, dan Sebuah Tulisan yang Egois
Mungkin
apa yang telah ditulis di sini penuh dengan bias berpikir dan tentunya semua
hal yang aku bahas banyak mengandung makna-makna yang kontradiktif satu sama
lain. Tapi persetan dengan itu semua, karena, bukankah hidup kita memang pada
dasarnya adalah sebuah kontradiksi? Jika anda sebagai pembaca tidak merasa
begitu, maka bersyukurlah pada Tuhan yang “katanya” Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang! Boleh jadi hanya aku yang berpikiran seperti itu. Namun, lagi-lagi,
persetan dengan itu semua! Kenapa orang-orang selalu saja mencari makna yang
benar sedangkan apa yang ada dunia ini bukankah tidak ada yang benar-benar
benar? Orang bijak pernah berkata bila “penulis telah lama mati sejak berada di
kamarnya,” jadi, ingin anda maknai apa tulisan ini melalui berbagai macam
penafsiran, itu terserah. Aku, sebagai penulisnya pun yang diberkati dengan
kebodohan alami juga tidak betul-betul memikirkan apa yang ditulis. Ya memang
terlihat aneh, akan tetapi bukannya wajar ketika suatu tulisan dibuat oleh seseorang
yang jiwanya sudah mati dan daya hasrat serta ambisinya untuk menjalani hidup sudah
terkubur dalam-dalam?
***
Sudah
hampir sebulan lamanya aku telah merasakan puncak dari bagaimana amarah dan
kesedihan berdiam lama menghantui pikiran, jiwa, hati, tubuh, dan segala tempat
kosong di dalam diriku Entah apa yang membuatku marah sekaligus sedih. Segala
hal yang menjadi faktor penyebab dari perasaan marah dan sedih di dalam diriku
tidak begitu aku ketahui dengan jelas! Bahkan, objek yang menjadi sasaran
kemarahan dan kesedihanku juga, lagi-lagi, tidak aku pahami benar. Apakah ini
bukti jika aku belum mengenal diriku? Siapakah aku? Bagaimana mungkin aku tidak
benar-benar memahami diriku padahal telah bertahun-tahun lamanya aku hidup (dan
mungkin akan mati) bersama-sama dengan diriku?
Telah
lama aku membaca sebuah tulisan yang jika tidak salah berjudul Ego and Its
Own. Tulisan tersebut secara tidak sengaja aku dapatkan di internet. Aku
tidak mengetahui dengan baik penulisnya, tapi jika tidak salah, Max Stirner
merupakan nama di balik tulisan tersebut, dan dia sudah telah mati puluhan atau
bahkan lebih dari seratus tahun yang lalu.
Meski
aku belum selesai membaca dan belum benar-benar memahami apa yang hendak
Stirner ingin sampaikan dalam tulisannya tersebut. Namun, pada awal-awal
membaca dan dengan penafsiran yang sewenang-wenang, tampak terasa sengatan
listrik menyambar pikiranku dan kobaran api seperti membakar jiwaku. Aku, (ya
Aku!) seperti menyadari apa yang selama ini seharusnya menjadi orientasi dan
perhatianku. Ya! aku harus menjadikan diriku sebagai perhatianku!
Sudah
sekian lama aku menjadikan subjek lain di luar diriku sebagai fokus utama. Aku
terlalu mencintai dan memperhatikan ini, itu, dia, dan mereka.
Aku tidak pernah melayani diriku, aku, atau katakanlah, egoku. Maka dari itu,
menjadi wajar mengapa aku merasa seperti amarah dan kesedihan sering kali
memenuhi ruang-ruang kosong diriku. Aku marah sekaligus sedih ketika melihat seorang
ibu beserta anaknya setiap malam harus tidur di jalan dan diselimuti udara
dingin: marah karena tidak ada pihak termasuk diriku yang benar-benar peduli
dengan nasib mereka; sedih karena mengapa aku tidak bisa membantu mereka serta
mereka yang tidak memiliki nasib yang sama baiknya dengan orang-orang yang
memiliki hunian.
Perasaan
marah dan sedih juga sering menghinggapi diriku ketika aku mencintai orang atau
benda lain: subjek maupun objek lain. Sebuah kebodohan diriku untuk tidak
pertama-tama melayani dan memikirkan diriku. Bagaimana mungkin diriku menangis
dan marah untuk derita dan tindakan orang lain sementara diriku tidak pernah
benar-benar menjadi perhatian diriku yang tidak pernah aku sadari untuk aku
tangisi dan bahkan untuk aku marahi keberadaannya?
Berbicara
soal cinta, nampaknya bukan aku saja yang betul-betul dibuat marah sekaligus
sedih karenanya. Baru-baru ini aku banyak menggali informasi soal bunuh diri,
dan sial! Ternyata banyak sekali orang yang bunuh diri karena masalah cinta. Andai
kata aku punya keberanian lebih untuk juga melakukan bunuh diri, barang kali
aku juga akan melakukannya. Karena apa bedanya mati sekarang dengan mati di kemudian
hari? Terlebih, apakah kita sadar jika terlempar dan berada di dunia ini tanpa
persetujuan diri kita? Tahu-tahu kita sudah berusia 20 tahun dan terpaksa
menjalani kehidupan yang terkutuk. Sangat terkutuk! Maka dari itu, tampak
sebagai sebuah hal yang fantastis bagiku ketika melihat orang-orang yang berani
melakukan bunuh diri, karena dalam pandanganku, mereka yang bunuh diri ialah
orang yang memiliki keteguhan hati lantaran dapat menentukan kapan dan
bagaimana ia akan mati.
“Tapi
agama melarang kita untuk bunuh diri, Tuhan akan menghukum kita!”, bukankah
dunia ini juga merupakan hukuman? Untuk apa kita mesti berlaga kuat di hadapan
hidup? Toh anggaplah ketika kita sudah tegar menjalani hidup, apa yang akan
kita dapatkan? Mungkin tidak akan jauh-jauh dari kesengsaraan.
“Tapi
dengan bekerja keras dan rajin serta bersungguh-sungguh, kita akan terjauh dari
itu semua”. telah banyak orang yang aku kenal melakukan seperti ucapan
tersebut, akan tetapi kehidupan atau mungkin Tuhan tampaknya tidak merestui hal
itu. Janji-janji kehidupan setelah kematian? Bukankah yang nyata adalah di mana
kita sekarang berada? Kenapa mesti mengharapkan sesuatu yang bahkan belum
pernah ada seseorang pun yang dapat menceritakan nikmatnya kehidupan lain
setelah kematian?
Pada
akhirnya, aku semakin sadar jika dunia di mana aku hidup merupakan sesuatu yang
sangat mengerikan. Andai aku lahir di abad ke-19 atau ke-18, mungkin saja aku
akan hidup seperti Thoreau di dalam kawasan hutan sendirian dan menggantungkan
hidup sepenuhnya dari alam. Orang yang tidak lagi mempunyai hasrat atau ambisi memang tidak akan cocok tinggal di kota, maka dari itu aku senang
sekali ketika membaca tulisan Nietzsche berjudul Thus Spoke Zarathustra.
Di sana ia berseru: “Aku mencintai hutan. Adalah buruk untuk tinggal di kota,
terlalu banyak manusia yang penuh nafsu hidup di sana”.
Sayangnya, aku terlahir di era yang terlampau modern. Tempat di mana masyarakat selalu mengelompok-mengelompokkan antara satu sama lain. “Tidak ada tempat untuk mereka yang berbeda!” begitulah gambaran kasarnya. Ah, Ya Tuhan! Sungguh rumit sekali hidup ini, atau mungkin hanya pikiranku saja?
bagus sekali tulisannyaaaaaa, sekarang mari kita hadapi hukuman nyata yang ada di kehidupan✨
BalasHapus